Oleh: Masykurudin Hafidz, Inisiator Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
Jakarta – Peraturan kampanye Pemilihan Umum 2024 telah terbit. Padahal kampanye baru akan dimulai empat bulan lagi. Ada ruang kosong yang tidak boleh dibiarkan agar keadilan pemilu tetap terjaga.
Dalam melakukan pendekatan ke masyarakat pemilih, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum mengatur dua jalur. Yakni, jalur sosialisasi atau pendidikan politik dan jalur kampanye. Batas akhir waktu sosialisasi atau pendidikan politik dan tanda dimulainya masa kampanye adalah 28 November 2023.
Partai politik peserta pemilu dalam melakukan sosialisasi atau pendidikan politik di internal partai politik diatur dengan dua metode, yaitu pemasangan bendera partai politik dan nomor urutnya, serta pertemuan terbatas dengan memberitahukan secara tertulis kepada penyelenggara pemilu sesuai tingkatan paling lambat satu hari sebelum kegiatan.
Dalam melakukan sosialisasi atau pendidikan politik tersebut, peserta pemilu diberikan syarat yang cukup ketat sehingga tidak melampaui batas yaitu masuk ke dalam kategori kampanye.
Pasal 79 Peraturan KPU tersebut menyatakan, peserta pemilu dilarang mengungkapkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik peserta pemilu dengan menggunakan metode penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye pemilu di tempat umum atau media sosial yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik di luar masa kampanye.
Pengetatan untuk tidak menyebarkan bahan kampanye di tempat umum sekaligus di media sosial dimaksudkan agar kegiatan pendidikan politik benar-benar bernilai deliberatif. Dalam arti, pendidikan politik diwujudkan dengan cara pertemuan tatap muka sehingga komunikasi berjalan dua arah tanpa batas. Percakapan langsung model ini dapat mendekatkan fungsionaris partai politik dengan anggota dan peserta yang hadir sebagai pemilik suara. Perbincangan untuk menyusun kontrak dan transaksi politik dapat dikembangkan untuk membangun masa depan.
Jika deliberasi yang diinginkan melalui pertemuan terbatas terwujud, maka masa kampanye yang hanya berjalan 75 hari menjadi puncak dalam membangun kontrak politik secara optimal. Kalaupun pada masa kampanye nanti, peserta pemilu memaksimalkan alat peraga kampanye, setidaknya dalam masa pra kampanye telah didahului dengan pertemuan tatap muka yang intensif.
Kampanye Sebelum Waktunya
Tetapi, fakta lapangan menunjukkan sebaliknya. Pendekatan partai politik peserta pemilu bersama dengan bakal calonnya mayoritas ditunjukkan dengan pemasangan alat peraga kampanye. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan entah itu baliho, spanduk, poster, stiker, atau alat peraga sejenis yang dipasang di pinggir jalan, pepohonan, atau tempat strategis lainnya sehingga mudah dipandang mata.
Dengan berbagai variasi dan ukuran, alat peraga tersebut jelas memuat unsur-unsur yang dilarang. Memuat nama, foto, visi-misi, dan daerah pemilihan. Lokasi pemasangannya pun berada di tempat publik, jalan umum, dan kawasan milik pribadi yang seringkali tidak mempertimbangkan kebersihan serta keindahan kawasan.
Hasil pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) membuktikan, alat peraga yang memenuhi unsur kampanye sebelum waktunya sudah tampak di 16 provinsi. Berdasarkan hasil kajian JPPR, alat peraga tersebut mengandung unsur kampanye yang dilarang untuk dipasang sebelum masa kampanye.
Pemasangan alat peraga kampanye, selain melanggar aturan, juga menjauhkan dari pendidikan politik yang deliberatif. Jika praktik ini dibiarkan pada akhirnya substansi demokrasi dan keadilan pemilu tidak dapat kita tuju.
Diperlukan penegakan hukum yang kuat untuk menerapkan aturan yang ketat. Perlu keberanian yang tegas untuk mendorong partai politik peserta pemilu melakukan pendidikan politik yang bermutu. Dengan menegakkan hukum bagi pelanggar sesuai peraturan yang berlaku.
Upaya Penindakan
Langkah utama menguatkan pendidikan politik yang berkualitas dimulai dengan menertibkan semua alat peraga kampanye. Tidak ada lagi alat peraga yang dilarang masih terpasang. Yang ada hanya bendera partai politik dengan nomor urut dan diletakkan di tempat-tempat yang diperbolehkan.
Bawaslu adalah penanggung jawab utama dan pertama dalam penertiban alat peraga yang melanggar. Bunyi Peraturan KPU tentang metode sosialisasi atau pendidikan pemilih yang hanya pemasangan bendera dan pertemuan terbatas menunjukkan batasan sekaligus larangan bagi metode lainnya. Larangan bagi metode lainnya bukan tidak boleh dilakukan, tetapi dilaksanakan nanti setelah masuk masa kampanye. Itulah yang dimaksud dengan pelanggaran kampanye di luar jadwal.
Oleh karena itu, pengawas pemilu wajib memiliki nyali untuk menjadikan temuan dan menuangkan dalam dugaan pelanggaran dengan menyertakan bukti dan kelengkapan informasi. Keberanian Bawaslu untuk melakukan penertiban dapat berkoordinasi dengan aparatur pemerintah daerah jika pelanggaran terkait dengan undang-undang lainnya atau memiliki keterbatasan sarana untuk menertibkannya.
Efektivitas menegakkan aturan tentang larangan kampanye diwujudkan dengan upaya penindakan. Dalam keadaan di mana alat peraga kampanye yang sudah dipasang di mana-mana, tindakan penanganan pelanggaran adalah solusinya. Pencegahan paling optimal dalam kepatuhan kegiatan sebelum masa kampanye adalah menghukum dan menertibkan pelanggarannya.
Tidak berlaku istilah lebih baik mencegah daripada mengobati. Karena penyakit sudah menyebar di hampir seluruh lokasi. Segera lakukan tindakan untuk penyembuhan. Agar penyakit lainnya tidak mengikuti dan menyebar kembali. Tertibkan semua alat peraga yang melanggar. Pastikan bahwa peraturan tidak hanya ada dalam tulisan demi menunjukkan bahwa larangan itu berdampak pada hukuman, sekaligus untuk membuktikan slogan pengawas pemilu yang sering diteriakkan –bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu.
Keterangan: Tulisan tersebut telah dimuat di Detik.com dan telah diijinkan untuk dimuat kembali di website Suarapemilu.id